Alamanda tak perna sedingin ini
sebelumnya. Matahari tetap bersinar di atas sana, namun hangatnya belum juga
terasa. Ada apa?
Bambu-bambu
kesayangan ibu tetap meliuk-liuk. Memamerkan diri betapa lenturnya ia.
Bambu-bambu kesayangan ibu tetap berdiri. Menegaskan betapa kuatnya ia. Tapi
bambu-bambu kesayangan ibu lambat laun merasa dingin. Matahari sedang tak
sampai hangatnya. Ada apa?
Kucing hitam kucing putih berjajar di depan
pagar rumah. Mencoba menghangatkan diri tapi akhirnya harus kembali ke kursi
empuk di dalam rumah. Tampaknya matahari tak sehangat biasanya. Kucing hitam
kucing putih kedinginan lalu tertidur berdua.
Matahari
masih tampak terang di atas sana, seharusnya menghangatkan. Mungkin ia lelah.
Aku biarkan ia beristirahat sejenak. Aku mengerti.
Aku
kedinginan. Aku menunggu agar matahariku lekas sembuh. Agar bisa kembali
bersinar terang, tidak redup. Agar bisa kembali menghangatkan. Aku berdoa…
Kemudian aku sadar, aku sedang
merindu.
Wajahku menadah menghadap langit.
Mencoba menatap matahariku. Ia tetap di sana, tetap indah, tetap gagah, tetap
dicinta. Matahariku tidak kemana-mana. Ia masih di sana dan masih sama. Begitu
pun aku, aku masih di sini, mengagumi, merindu dan mencinta matahari yang sama.
Matahariku. Seutuhnya milikku.
Untuk matahariku, dengar, aku rindu. Lekas kembali, lekas hangatkan lagi, aku ingin bertemu, aku kedinginan....