Wednesday, January 1, 2014

Lekas Kembali, Matahari

Alamanda tak perna sedingin ini sebelumnya. Matahari tetap bersinar di atas sana, namun hangatnya belum juga terasa. Ada apa?

                Bambu-bambu kesayangan ibu tetap meliuk-liuk. Memamerkan diri betapa lenturnya ia. Bambu-bambu kesayangan ibu tetap berdiri. Menegaskan betapa kuatnya ia. Tapi bambu-bambu kesayangan ibu lambat laun merasa dingin. Matahari sedang tak sampai hangatnya. Ada apa?

                 Kucing hitam kucing putih berjajar di depan pagar rumah. Mencoba menghangatkan diri tapi akhirnya harus kembali ke kursi empuk di dalam rumah. Tampaknya matahari tak sehangat biasanya. Kucing hitam kucing putih kedinginan lalu tertidur berdua.

                Matahari masih tampak terang di atas sana, seharusnya menghangatkan. Mungkin ia lelah. Aku biarkan ia beristirahat sejenak. Aku mengerti.

                Aku kedinginan. Aku menunggu agar matahariku lekas sembuh. Agar bisa kembali bersinar terang, tidak redup. Agar bisa kembali menghangatkan. Aku berdoa…

Kemudian aku sadar, aku sedang merindu.

Wajahku menadah menghadap langit. Mencoba menatap matahariku. Ia tetap di sana, tetap indah, tetap gagah, tetap dicinta. Matahariku tidak kemana-mana. Ia masih di sana dan masih sama. Begitu pun aku, aku masih di sini, mengagumi, merindu dan mencinta matahari yang sama. Matahariku. Seutuhnya milikku.  


Untuk matahariku, dengar, aku rindu. Lekas kembali, lekas hangatkan lagi, aku ingin bertemu, aku kedinginan....