Kemarin malam aku duduk sendiri. Di atas kepalaku, langit
malam berupa lebih pekat . Menunduk. Menatap pedih sepasang sepatu hijau toska.
Kecil, kita harus berjalan kemana lagi? kataku kepada mereka. Kehabisan arah,
akhirnya aku mengaku kalah. Aku butuh kamu.
Kemarin malam aku duduk sendiri. Di sebuah halte biru di
sisi jalan. Mungkin, bis tersebut adalah bis terakhir yang ada di kota ini,
malam ini. Aku tidak peduli. Aku butuh kamu.
Kemarin malam aku duduk sendiri. Kepalaku pusing. Kedua
tanganku menopang kepala berisi jutaan kekhawatiran. Aku ingin pulang, Sayang…
Kemarin malam aku duduk sendiri. Bandungku sedang sangat
dingin. Di halte itu, di malam-biru-pekat itu, dengan sepatu hijau toska itu,
kamu tahu, aku sedang berhitung. Satu, dua, tiga, empat, dan lima. Berapa tetes
air mata lagi yang harus keluar?
Aku ingin pulang, Sayang, aku ingin pulang.
Malam semakin pekat, bintang semakin menyala, bulan pun
demikian. Tergopoh-gopoh langkahku. Tidak, aku tidak boleh kalah dengan
keadaan. Aku, dan sepatu-sepatu hijau toska menyusuri jalan sepi itu. Tidak,
aku tidak boleh menangis.
Ah, aku benci sepi.
Lampu jalan menyala terang di kedua sisi. Aku mencintai
terangnya. Malam itu, lampu-lampu terlihat lebih cantik. Andai saja kamu bisa
lihat… Ah, sudahlah.
Kaki-kaki kecilku mulai berdarah lagi. Mungkin sepatu-sepatu
hijau toska terlalu erat melindungi. Sama seperti aku dan kamu, kamu sakit
karena aku terlalu erat memelukmu. Maafkan aku…
Ah, aku membenci diriku.
Aku tidak menemukan rumah. Kakiku berdarah, kepalaku pusing,
tubuhku kelelahan. Aku berlutut, lalu terjatuh.
Gelap. Tapi aku lihat
kamu. Kamu jangan menjauh, aku butuh kamu. Jangan pergi, kumohon..
Hingga akhirnya tubuhku semakin rapuh, kakiku terus
berdarah, dan tiada henti menjeritkan namamu, bahkan kamu tidak berniat untuk
menengok ke belakang?
Baiklah, mungkin aku masih sanggup mengusirmu.