Wednesday, April 23, 2014

Sungai, Laut

Kami berlayar di atas sungai, bukan laut.
Sungai perlu waktu untuk bermuara; 9 tahun lamanya, laut jauhnya tak terkira.
Kami mendayung, suara angin mendayu. Di atas perahu kami memijak air dan dipijak awan.
Kami bergandengan; khawatir salah satu dari kami jatuh.
Jatuh. Menyerah pada air. Mati.
Kami berjuang untuk laut.

 Air terlalu kuat, angin tak lagi selembut lembu.
Aku karam, aku tenggelam.
Tangan kirinya kokoh menggapai, menggapai air menyingkirkanku.
Kaki kananku terpaut batu. Siku kiri terkikis miris. Dagu ditopang malu.
Wajahku tak secantik dahulu. Sudah kalah oleh irisan batu.
Kapalku sudah melaju.
Aku payah. Tapi tak ingin kalah.
Walaupun akhirnya harus menyerah.
Tak sampai laut aku harus kalah.

Laut terlalu jauh untuk ditempuh pencundang sejenisku.
Malu; tersipu, tersapu lalu berlalu.
Lambat;
mendekat;
melekat.
Halus ia mendekat.
Kasarmu takluk. Kemarilah biar kupeluk.
Sayang.
Masih berat suara. Lebih baik berbisik.
Bisik dirindu. Merdu. Rindu.
Dagu ditopang, kepala disayang.
Halus ia datang. Tak lama, kembali pulang.
Kasar ia tak pulang. Tunggu kamu bertemu Tuhan.
Halus; bisik; berat; dagu atau apa pun sudah pulang.
Kasar, aku yang diterpa, aku yang rasa.
Tak apa. Biar saja.
Lalu…
Aku ingin…
ditopang;
disayang;
dirindu, Sayang.


Halus, Kasar. April 214. 23.
Jangan salahkan Bumi yang mengorbit. Jangan pula salahkan manusianya.
Bumi; manusia, memang begini. Aku memang begini. Kamu memang begitu.
Bumi tak salahkan manusia, tapi aku salahkan Bumi. Maaf, Bumi…
Bumi sedang rindu Matahari, ya?
Matahari sangat gagah, ya?

Pantas Bumi merindu.

Bandung, 19 April 2014.