Friday, December 12, 2014

Antara Aku, Kamu, dan Semesta

Kembali, aku menulis. Setelah sekian lama bahgia dan sedih kupilih untuk tidak dibagi. Biar saja. Toh, siapa yang peduli sama tulisanku? Begitu.

Terlalu banyak yang terpendam. Bukan aku yang ingin. Semesta ingin semuanya berjalan seperti ini. Semesta selalu menang.

Adalah semesta yang mempertemukan kita. Di satu ruang. Bahkan kita tidak pernah tahu ada ruang tersebut. Tidak pernah kita duga sebelumnya. Bukan aku yang memilih. Kalau pun bisa memilih, aku tidak mau memilih. Aku pikir, dengan kamu, semesta sudah cukup adil.

Adalah semesta yang membuat tiap 3600 detik terasa berharga. Berharga ketika aku tidak bisa menggenggam lagi 3600 detik yang sempat aku punya. Bukan aku yang melepas. Bukan aku yang mau. Lagi, semesta ingin semua berjalan sesuai kehendaknya.

Adalah semesta yang membuatku terpana pada tulang pipi kirimu, pada pundak kokohmu, dan tentu saja, pada matamu.

Adalah semesta yang membuat aku mencinta.

Adalah semesta yang membuat Matahari tetap mendampingi Bumi. Walaupun masih ada Merkurius dan Venus yang mendampingi Matahari. Aku sempat berpikir, Bumi mungkin iri. Bumi juga ingin lebih dekat dengan Mataharinya. Lalu aku sadar, Bumi akan terluka jika terlalu dekat. Semesta memang adil.

Matahari.


Menatapnya saja aku tak cukup kuat, apalagi memeluknya. Matahari tidak hangat, ia panas. Memang seharusnya ia panas. Tapi Matahari bisa menghangatkan, ketika ia sangat sangat jauh. Matahari tidak akan melukaimu ketika ia jauh. Itu caraku mengagumi Matahari, dengan berada sangat jauh darinya. Bukan memeluknya.