Kembali, aku menulis. Setelah sekian lama bahgia dan sedih
kupilih untuk tidak dibagi. Biar saja.
Toh, siapa yang peduli sama tulisanku? Begitu.
Terlalu banyak yang terpendam. Bukan aku yang ingin. Semesta
ingin semuanya berjalan seperti ini. Semesta selalu menang.
Adalah semesta yang mempertemukan kita. Di satu ruang.
Bahkan kita tidak pernah tahu ada ruang tersebut. Tidak pernah kita duga
sebelumnya. Bukan aku yang memilih. Kalau pun bisa memilih, aku tidak mau
memilih. Aku pikir, dengan kamu, semesta sudah cukup adil.
Adalah semesta yang membuat tiap 3600 detik terasa berharga.
Berharga ketika aku tidak bisa menggenggam lagi 3600 detik yang sempat aku
punya. Bukan aku yang melepas. Bukan aku yang mau. Lagi, semesta ingin semua
berjalan sesuai kehendaknya.
Adalah semesta yang membuatku terpana pada tulang pipi
kirimu, pada pundak kokohmu, dan tentu saja, pada matamu.
Adalah semesta yang membuat aku mencinta.
Adalah semesta yang membuat Matahari tetap mendampingi Bumi.
Walaupun masih ada Merkurius dan Venus yang mendampingi Matahari. Aku sempat
berpikir, Bumi mungkin iri. Bumi juga ingin lebih dekat dengan Mataharinya.
Lalu aku sadar, Bumi akan terluka jika terlalu dekat. Semesta memang adil.
Matahari.
Menatapnya saja aku tak cukup kuat, apalagi memeluknya.
Matahari tidak hangat, ia panas. Memang seharusnya ia panas. Tapi Matahari bisa
menghangatkan, ketika ia sangat sangat jauh. Matahari tidak akan melukaimu
ketika ia jauh. Itu caraku mengagumi Matahari, dengan berada sangat jauh darinya.
Bukan memeluknya.