Ini mungkin rindu. Sayangnya aku tidak tahu. Mestinya aku
tahu. Mestinya.
Ini mungkin bukan rindu. Karena rasanya begitu pilu. Tapi
menangis pun aku tidak mau. Harusnya aku tahu. Harusnya.
******
Mengapa begitu banyak orang yang begitu mudah menyandarkan
hati? Padahal bagiku, jatuh hati begitu pedih dengan tahu, dengan menduga, apa
yang akan terjadi nanti. Rasa yang terlampau memiliki, hati yang seolah-olah
terikat, jiwa yang seakan-akan tidak terpisahkan. Egois. Manusia begitu egois.
Tapi, adalah pilihan bodoh ketika memutuskan untuk tidak
menjadi egois dengan tidak mau bersandar, tidak mau memutuskan akan kemana,
tidak mau berlabuh. Nyatanya manusia adalah egois –ketika sedang jatuh hati.
Mengapa begitu pedih. Mengapa begitu ceria. Mengapa begitu
pilu. Mengapa begitu menakjubkan.
****
Aku, dan ayunan kayu tua buatan Ayah, serta terangmu.
Kini aku tengah menduga: apakah setiap yang merindu seperti
aku? Mengapa lagu cinta picisan menggambarkan begitu indahnya orang yang sedang
merindu? Mengapa aku tidak begitu? Apa rinduku hanya aku yang tahu? Apa rinduku
memang seharusnya pilu?
******
Dari sekian kilometer perjalananku,
dari ratusan lagu cinta murahan yang begitu memuakkan,
dari puisi picisan yang kamu kutip,
dari dingin yang kamu biarkan menyakiti,
dari panas yang kamu arahkan kepadaku,
dari pilu, pedih, duka yang kamu tiupkan ke dahiku,
mengapa
tak bisa
aku lemah?
****
Di puncak bumi, jauh dari pelupuk matamu.