Saturday, August 8, 2015

Kaki dan Sepatu Hijau Toska: Pulang

Kemarin malam aku duduk sendiri. Di atas kepalaku, langit malam berupa lebih pekat . Menunduk. Menatap pedih sepasang sepatu hijau toska. Kecil, kita harus berjalan kemana lagi?  kataku kepada mereka. Kehabisan arah, akhirnya aku mengaku kalah. Aku butuh kamu.

Kemarin malam aku duduk sendiri. Di sebuah halte biru di sisi jalan. Mungkin, bis tersebut adalah bis terakhir yang ada di kota ini, malam ini. Aku tidak peduli. Aku butuh kamu.

Kemarin malam aku duduk sendiri. Kepalaku pusing. Kedua tanganku menopang kepala berisi jutaan kekhawatiran. Aku ingin pulang, Sayang…

Kemarin malam aku duduk sendiri. Bandungku sedang sangat dingin. Di halte itu, di malam-biru-pekat itu, dengan sepatu hijau toska itu, kamu tahu, aku sedang berhitung. Satu, dua, tiga, empat, dan lima. Berapa tetes air mata lagi yang harus keluar?

Aku ingin pulang, Sayang, aku ingin pulang.

Malam semakin pekat, bintang semakin menyala, bulan pun demikian. Tergopoh-gopoh langkahku. Tidak, aku tidak boleh kalah dengan keadaan. Aku, dan sepatu-sepatu hijau toska menyusuri jalan sepi itu. Tidak, aku tidak boleh menangis.

Ah, aku benci sepi.

Lampu jalan menyala terang di kedua sisi. Aku mencintai terangnya. Malam itu, lampu-lampu terlihat lebih cantik. Andai saja kamu bisa lihat… Ah, sudahlah.

Kaki-kaki kecilku mulai berdarah lagi. Mungkin sepatu-sepatu hijau toska terlalu erat melindungi. Sama seperti aku dan kamu, kamu sakit karena aku terlalu erat memelukmu. Maafkan aku…

Ah, aku membenci diriku.

Aku tidak menemukan rumah. Kakiku berdarah, kepalaku pusing, tubuhku kelelahan. Aku berlutut, lalu terjatuh.

Gelap. Tapi aku lihat kamu. Kamu jangan menjauh, aku butuh kamu. Jangan pergi, kumohon..

Hingga akhirnya tubuhku semakin rapuh, kakiku terus berdarah, dan tiada henti menjeritkan namamu, bahkan kamu tidak berniat untuk menengok ke belakang?

Baiklah, mungkin aku masih sanggup mengusirmu.

No comments:

Post a Comment