Thursday, December 24, 2015

Merindu Pilu

Ini mungkin rindu. Sayangnya aku tidak tahu. Mestinya aku tahu. Mestinya.

Ini mungkin bukan rindu. Karena rasanya begitu pilu. Tapi menangis pun aku tidak mau. Harusnya aku tahu. Harusnya.

******

Mengapa begitu banyak orang yang begitu mudah menyandarkan hati? Padahal bagiku, jatuh hati begitu pedih dengan tahu, dengan menduga, apa yang akan terjadi nanti. Rasa yang terlampau memiliki, hati yang seolah-olah terikat, jiwa yang seakan-akan tidak terpisahkan. Egois. Manusia begitu egois.

Tapi, adalah pilihan bodoh ketika memutuskan untuk tidak menjadi egois dengan tidak mau bersandar, tidak mau memutuskan akan kemana, tidak mau berlabuh. Nyatanya manusia adalah egois –ketika sedang jatuh hati.

Mengapa begitu pedih. Mengapa begitu ceria. Mengapa begitu pilu. Mengapa begitu menakjubkan.

****

Aku, dan ayunan kayu tua buatan Ayah, serta terangmu.

Kini aku tengah menduga: apakah setiap yang merindu seperti aku? Mengapa lagu cinta picisan menggambarkan begitu indahnya orang yang sedang merindu? Mengapa aku tidak begitu? Apa rinduku hanya aku yang tahu? Apa rinduku memang seharusnya pilu?

******

Dari sekian kilometer perjalananku,

dari ratusan lagu cinta murahan yang begitu memuakkan,

dari puisi picisan yang kamu kutip,

dari dingin yang kamu biarkan menyakiti,

dari panas yang kamu arahkan kepadaku,

dari pilu, pedih, duka yang kamu tiupkan ke dahiku,

mengapa

tak bisa


aku lemah?

****

Di puncak bumi, jauh dari pelupuk matamu.

No comments:

Post a Comment